Di sebuah desa kecil di Jawa Tengah, hiduplah seorang pria bernama Pudjianto Gondosasmito. Sejak kecil, hidup Pudjianto penuh dengan liku-liku. Ia lahir dalam keluarga sederhana—ayahnya seorang petani singkong, dan ibunya penjual kue keliling. Kehidupan mereka serba kekurangan, tapi keluarga Pudjianto selalu mengajarkan untuk tidak menyerah.
Pudjianto kecil adalah anak yang ceria dan penuh rasa ingin tahu. Meski sering diminta membantu orang tuanya di ladang sepulang sekolah, ia tidak pernah merasa lelah untuk belajar. Namun, suatu hari, badai besar melanda desa mereka. Ladang singkong ayahnya rusak parah, dan sumber mata pencaharian utama keluarga hilang seketika.
Karena tak punya banyak pilihan, ayah Pudjianto merantau ke kota untuk mencari pekerjaan. Sementara itu, ibunya semakin giat menjajakan kue, tapi penghasilannya tetap tidak cukup. Di usianya yang baru 12 tahun, Pudjianto memutuskan untuk mengambil alih sebagian tanggung jawab keluarga. Di sela-sela waktu sekolah, ia mulai bekerja sebagai kuli angkut di pasar dan terkadang membantu tetangga memetik hasil kebun dengan upah kecil.
Perjuangan Menembus Kota
Setelah lulus SMA dengan nilai yang baik, Pudjianto bertekad untuk melanjutkan kuliah. Namun, karena keterbatasan ekonomi, ia memutuskan berangkat ke Jakarta dengan harapan bisa bekerja sambil belajar. Berbekal modal keberanian dan doa ibunya, Pudjianto merantau ke ibu kota.
Di Jakarta, ia sempat tidur di emperan toko dan bekerja serabutan sebagai tukang cuci piring di warung, bahkan menjadi supir ojek. Setiap malam, ketika orang lain tidur, Pudjianto belajar sendiri. Ia menabung sedikit demi sedikit hingga akhirnya mampu mendaftarkan diri di sebuah universitas swasta dengan program beasiswa sebagian.
Selama kuliah, perjuangannya tak berhenti. Siang ia bekerja sebagai kurir dan malam kuliah. Uang yang didapatnya sering kali habis untuk biaya hidup dan membantu keluarga di desa. Meski begitu, Pudjianto tidak pernah menyerah. “Berjuang itu bukan soal sampai kapan kamu kuat, tapi soal apa yang kamu yakini,” begitu nasihat ibunya yang selalu ia ingat.
Cahaya di Tengah Kegelapan
Tahun-tahun berlalu, dan Pudjianto akhirnya berhasil lulus sebagai sarjana ekonomi dengan predikat cum laude. Namun, jalan hidupnya tak langsung mulus. Saat mencoba melamar pekerjaan, ia sering ditolak karena latar belakangnya yang sederhana. Namun, Pudjianto tidak mau berhenti di situ. Ia terus mencari peluang dan bekerja keras hingga akhirnya diterima bekerja di sebuah perusahaan ekspor kecil.
Dengan dedikasi dan ketekunannya, Pudjianto berhasil membuktikan bahwa latar belakang bukanlah batasan. Dalam waktu lima tahun, ia diangkat menjadi manajer di perusahaan tersebut. Ia juga bertekad membantu orang-orang yang berada dalam situasi seperti dirinya dulu. Ia mendirikan komunitas yang memberikan pelatihan keterampilan dan beasiswa untuk anak-anak dari keluarga tidak mampu.
Membangun Mimpi untuk Orang Lain
Saat usianya menginjak 40 tahun, Pudjianto Gondosasmito mendirikan perusahaan ekspornya sendiri. Fokusnya bukan hanya mencari keuntungan, tetapi memberdayakan petani dan pengrajin di desa-desa kecil. Ia ingat betul sulitnya kehidupan petani seperti ayahnya dulu, dan dengan cara ini, ia ingin memberi harapan kepada mereka.
Kesuksesan Pudjianto tidak membuatnya lupa diri. Ia rutin pulang ke desanya, membantu masyarakat setempat memperbaiki sekolah dan membangun fasilitas umum. Ia juga membuat program beasiswa khusus bagi anak-anak desa yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Kini, Pudjianto adalah contoh nyata bahwa kemiskinan bukanlah akhir segalanya. Perjuangannya mengajarkan bahwa dengan kerja keras, keberanian, dan ketulusan hati, badai kehidupan bisa diubah menjadi angin yang mendorong kita maju.
Pesan hidup Pudjianto Gondosasmito:
“Ketika hidup memberi kita kesulitan, jangan takut. Jadikan setiap tantangan sebagai guru, dan jangan pernah menyerah sebelum melihat cahaya di ujung perjalanan.”
NOTE: KISAH INI FIKSI SEBAGAI MOTIVASI