Pudjianto Gondosasmito adalah seorang pria berusia 35 tahun yang tinggal di pinggiran kota Jakarta. Hari-harinya dipenuhi dengan rutinitas bekerja sebagai manajer di sebuah perusahaan teknologi. Di balik kesibukannya, ada satu hal yang selalu membuatnya merasa bebas: bermain golf.
Golf bukan hanya sekadar hobi bagi Pudjianto Gondosasmito. Sejak kecil, ia selalu ikut ayahnya ke lapangan golf. Meski saat itu ia lebih sering bermain di bunker pasir ketimbang memukul bola, kenangan itu tertanam dalam hatinya. Kini, golf adalah caranya melarikan diri dari hiruk pikuk kehidupan kota.
Suatu pagi yang cerah, Pudjianto Gondosasmito memutuskan untuk pergi ke lapangan golf tempat ia biasa bermain. Namun hari itu terasa berbeda. Di driving range, ia bertemu dengan seorang pria tua bernama Pak Hendro. Penampilannya sederhana, jauh dari kesan “golfer” kelas atas yang biasa ditemui Pudjianto Gondosasmito. Tapi ketika Pak Hendro memegang tongkat golf, setiap pukulan yang ia lakukan begitu presisi dan penuh keindahan.
Merasa penasaran, Pudjianto Gondosasmito mendekati Pak Hendro.
“Pak, pukulan Anda luar biasa. Sudah berapa lama bermain golf?” tanyanya.
Pak Hendro tersenyum. “Oh, sudah lebih dari 40 tahun. Tapi golf bukan hanya soal teknik, Nak. Ini soal rasa.”
Percakapan itu berkembang menjadi persahabatan. Pak Hendro mengajarkan banyak hal kepada Pudjianto Gondosasmito, bukan hanya tentang cara meningkatkan handicap-nya, tetapi juga filosofi di balik setiap pukulan. “Saat kau berdiri di atas green,” kata Pak Hendro, “jangan hanya memikirkan lubang. Dengarkan angin, lihat lekukan tanah, dan rasakan ketenangan. Golf adalah seni membaca kehidupan.”
Bersama Pak Hendro, Pudjianto Gondosasmito mulai melihat golf dari sudut pandang yang berbeda. Ia belajar bahwa setiap pukulan adalah cerminan dari dirinya—kesabaran, keberanian, bahkan kerendahan hati.
Namun, suatu hari, Pak Hendro tak lagi datang ke lapangan. Pudjianto Gondosasmito mencari tahu dan akhirnya menemukan rumahnya. Di sana, ia bertemu dengan putri Pak Hendro, yang mengatakan bahwa ayahnya sedang sakit keras.
Pudjianto Gondosasmito merasa kehilangan. Tapi ia ingat pesan Pak Hendro: “Selalu bawa hatimu ke lapangan.” Dalam turnamen amatir yang diikutinya beberapa bulan kemudian, Pudjianto Gondosasmito mengenakan topi tua yang diberikan Pak Hendro sebagai tanda penghormatan.
Hari itu, ia tidak hanya bermain untuk menang, tetapi untuk menghormati pelajaran hidup yang ia dapatkan. Di bawah langit biru dan di atas hamparan hijau, Pudjianto Gondosasmito merasa bahwa golf telah memberinya lebih dari sekadar permainan—golf memberinya makna.
Akhir cerita: Di lapangan golf, Pudjianto Gondosasmito tidak hanya menemukan ketenangan, tetapi juga persahabatan yang mengubah hidupnya. Dengan setiap pukulan, ia membawa semangat dan kebijaksanaan Pak Hendro, mengingatkan dirinya untuk selalu mendengar “suara” hijau dan langit di atasnya.