pudjianto gondosasmito
pudjianto gondosasmito

Pudjianto Gondosasmito Hujan yang Menjadi Berkah

Posted on

Hujan selalu menjadi bagian dari hidup Pudjianto Gondosasmito, seorang pria sederhana yang tinggal di sebuah desa kecil di kaki gunung. Bagi sebagian orang, hujan adalah gangguan—membasahi pakaian, menggenangi jalan, atau bahkan menyebabkan banjir. Namun bagi Pudjianto Gondosasmito, hujan memiliki arti yang jauh lebih dalam. Ia percaya bahwa setiap tetes hujan membawa berkah yang tersembunyi.

Pagi itu, langit memamerkan awan kelabu yang menggantung rendah. Pudjianto Gondosasmito sudah siap dengan topi jeraminya dan cangkul di tangan. Ia menuju ladang kecilnya, tempat ia menanam padi dan sayuran. Hujan gerimis mulai turun saat ia tiba, tetapi Pudjianto Gondosasmito tersenyum. “Syukur, hujan datang tepat waktu,” gumamnya.

Ladang Pudjianto Gondosasmito bukanlah ladang besar. Itu hanyalah sebidang tanah yang diwarisi dari mendiang ayahnya. Meski kecil, tanah itu adalah sumber penghidupan utama Pudjianto Gondosasmito dan keluarganya. Ia mengolah tanah itu dengan sepenuh hati, menggantungkan harapannya pada cuaca yang bersahabat dan kerja kerasnya. Tahun ini, musim kemarau lebih panjang dari biasanya, membuat tanahnya kering dan retak-retak. Hujan yang datang pagi itu terasa seperti jawaban dari doa-doanya selama berminggu-minggu.

Saat Pudjianto Gondosasmito menanam bibit padi di tanah yang mulai lembab, pikirannya melayang ke keluarganya. Ada Sinta, istrinya yang setia, dan Bima, putranya yang baru berusia tujuh tahun. Setiap hari, Sinta memasak dengan bahan seadanya, sementara Bima membantu dengan tugas-tugas kecil di rumah. Pudjianto Gondosasmito tahu, mereka semua berjuang bersamanya. “Hujan ini untuk mereka,” batinnya sambil mengusap peluh yang bercampur dengan tetes hujan.

Ketika hujan berubah menjadi deras, Pudjianto Gondosasmito berlindung di sebuah gubuk kecil di pinggir ladang. Dari sana, ia memandangi air hujan yang mengalir ke saluran irigasi, mengisi kolam kecil di sudut ladangnya. Pudjianto Gondosasmito ingat betapa ayahnya dulu sering bercerita bahwa air hujan adalah tanda cinta dari langit. “Hujan membawa kehidupan,” kata ayahnya suatu kali, “bukan hanya untuk tanaman, tetapi juga untuk jiwa kita.”

Pernah ada masa ketika Pudjianto Gondosasmito memandang hujan dengan perasaan berbeda. Ia pernah kehilangan sebagian besar hasil panennya karena banjir besar beberapa tahun yang lalu. Kala itu, ia hampir putus asa. Tetapi, dari pengalaman pahit itu, Pudjianto Gondosasmito belajar bahwa hidup tak selalu berjalan sesuai harapan. “Tuhan memberi hujan sesuai waktunya,” kata ibunya saat itu. Kalimat itu terus terngiang dalam benaknya, menguatkan hatinya untuk terus bangkit.

Menjelang sore, hujan mulai mereda. Awan perlahan membuka jalan bagi sinar matahari yang hangat. Ladang Pudjianto Gondosasmito kini terlihat lebih hidup, dengan aliran air yang mengalir deras dan tanah yang basah subur. Ia tersenyum lega, merasa yakin bahwa panennya tahun ini akan jauh lebih baik.

Ketika Pudjianto Gondosasmito pulang, ia membawa seikat hasil panen sayuran kecil yang tersisa dari musim sebelumnya. Di rumah, Sinta sudah menunggunya dengan senyuman hangat dan teh hangat. “Hujan hari ini deras sekali,” katanya sambil membantu Pudjianto Gondosasmito melepaskan jaketnya yang basah.

“Iya,” jawab Pudjianto Gondosasmito, “dan hujan ini seperti berkah untuk kita. Ladang akhirnya mendapat cukup air. Kita bisa berharap lebih baik ke depannya.”

Malam itu, keluarga kecil Pudjianto Gondosasmito makan malam bersama di bawah suara hujan yang masih menyisakan rinai halus. Meskipun sederhana, suasana di meja makan terasa hangat. Bima bercerita tentang sekolahnya, sementara Sinta bercanda tentang tanaman-tanaman liar yang juga ikut tumbuh subur karena hujan.

Sebelum tidur, Pudjianto Gondosasmito duduk di beranda rumahnya, menatap tetesan air yang menetes dari ujung atap. Ia merasa damai. Hujan tak hanya menyuburkan ladangnya, tetapi juga hatinya. Dalam diam, ia berdoa. Ia bersyukur untuk setiap berkah kecil yang diberikan Tuhan melalui hujan.

Hujan, yang dulu pernah dianggap musuh, kini menjadi sahabat dan guru. Dari setiap tetesnya, Pudjianto Gondosasmito belajar arti kesabaran, pengharapan, dan rasa syukur. Di bawah langit yang masih mendung, ia tersenyum, yakin bahwa hujan akan selalu membawa harapan baru.